2019

BUDIDAYA TANAMAN PADI SRI

1234    11 December 2020

Warga Desa Tangkulowi dan Boladangko, khususnya yang berprofesi sebagai petani, mendapatkan pengetahuan baru dalam hal penanaman padi. Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) yang tergabung dalam Konsorsium Emergency Response Capacity Building (ERCB), memberikan pendampingan usaha tani dengan sistem SRI (System of Rice Intensification) kepada kelompok-kelompok tani yang sudah ada di kedua desa tersebut.

Usaha tani padi dengan sistem SRI (System of Rice Intensification) merupakan usaha tani yang dapat menghemat penggunaan input seperti benih, penggunaan air, pupuk kimia dan pestisida kimia melalui pemberdayaan petani dan kearifan lokal. SRI mulai dikenal oleh beberapa negara di dunia termasuk di Indonesia pada tahun 1997 yang diperkenalkan oleh seorang yang ahli yaitu Norman Uphoff (Direktur dari Cornell International Institute for Food, Agricultural and Development).

"Pada dasarnya teknologi SRI memperlakukan tanaman padi tidak seperti tanaman air yang membutuhkan air yang cukup banyak," kata Ilham Syaiful Huda dari LPTP. Air terlalu banyak dampaknya tidak baik, karena jaringan kompleks pada akar tanaman padi akan hancur. "Hal ini berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga kapasitas produksi akan rendah," tambah Ilham.

Fasilitator Teknis dari LPTP, Rohadi, menjelaskan bahwa budidaya tanaman padi SRI memperhatikan semua komponen yang ada di ekosistem baik itu tanah, tanaman, mikro organisme, makro organisme, udara, sinar matahari dan air sehingga memberikan produktivitas yang tinggi.

"Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, diantaranya kesehatan tanah, pemilihan benih, penyemaian benih, hingga pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman padi," kata Rohadi.

Secara umum, cara tanam para petani di Kecamatan Kulawi masih butuh diperbaiki. "Jumlah benih yang terlalu banyak dan jarak tanam yang terlalu berdekatan berpengaruh pada penyemaiannya," kata Rohadi. "Produktivitas yang lebih ditekankan tanpa memikirkan keberlanjutannya. Penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi, tentu akan berpengaruh pada kelestarian lingkungan pada jangka panjang. Selain itu membuat para petani tergantung untuk selalu membeli pupuk dan pestisida kimiawi tersebut," ujar Rohadi. Melalui SRI, para petani tidak hanya diajarkan cara menanam padi tapi juga membuat pupuk dan pestisida yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada.

Beberapa manfaat ditawarkan kepada para anggota kelompok tani tersebut:

  1. Hemat air.
  2. Memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah.
  3. Tidak tergantung pupuk dan pestisida kimiawi.
  4. Meningkatkan pendapat.
  5. Menghasilkan padi yang baik untuk kesehatan.
  6. Mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang. 

Pengenalan budidaya tanaman padi SRI kepada kelompok-kelompok tani di kedua desa tersebut diantaranya melalui Diskusi Kelompok Terarah. Metode ini digunakan tidak hanya untuk menjelaskan tentang apa itu SRI, tahapan yang harus dilalui, serta keunggulan-keunggulannya, tapi juga membuka ruang bagi para petani tersebut untuk bertanya dan berdiskusi untuk menentukan lokasi yang akan digunakan sebagai demo plot (demplot).

Demplot ini digunakan sebagai tempat praktik budidaya tanaman padi SRI. "Jadi nanti bisa dibandingkan, hasil padi yang menggunakan cara tanam konvensional dengan yang menggunakan SRI," jelas Rohadi.

Tantangan terbesar dalam menjalankan program ini adalah bagaimana meyakinkan masyarakat petani di kedua desa yang sudah lama menggunakan bercocok tanam padi dengan cara-cara konvensional bahwa budidaya tanaman padi dengan menggunakan SRI akan lebih baik hasilnya.

Philipus, Ketua Gapoktan Desa Tangkulowi membenarkan hal tersebut. "Berdasarkan pengalaman sebagai PPL, masyarakat pada umumnya melihat hasilnya dulu baru mereka mau menerapkan," katanya.

Tantangan tersebut tidak menyurutkan Konsorsium ERCB untuk mengenalkan budidaya tanaman padi SRI ini ke masyarakat di Kulawi. Pelibatan masyarakat sedari awal menjadi kunci untuk membangun kepercayaan. Salah satunya dengan melibatkan mereka ketika menghitung seberapa besar biaya yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam pertanian. "Biaya semua tahapan pertanian, dari persiapan, persemaian, olah lahan, dan lain-lain dalam 1 Ha lahan. Kemudian kita bandingkan dengan biaya yang dibutuhkan jika menggunakan pola padi SRI," kata Rohadi.

Selain itu juga dilakukan pemetaan untuk mendapatkan gambaran kondisi pertanian saat ini di desa tersebut dan faktor- faktor lain yang berhubungan. "Segala persoalan yang terkait dengan pertanian pun kita petakan bersama," tambah Rohadi. Melalui pelibatan masyarakat dalam seluruh proses inilah kepercayaan coba dibangun.

Saat ini, proses budidaya tanaman padi SRI berjalan dengan baik di kedua desa. Untuk memenuhi tujuan mewariskan tanah yang sehat unuk generasi mendatang, maka pembuatan pupuk dan pestisida organik pun diajarkan kepada masyarakat. Sehingga dalam jangka panjang, lingkungan mereka pun diharapkan menjadi lebih sehat tanpa unsur-unsur kimiawi. Para petani pun menjadi tidak tergantung untuk membeli pupuk dan pestisida kimiawi karena sudah terampil untuk membuat yang organik dan ramah lingkungan. (mdk)

News Update