
ANDREAS IGO, TAK MAU TERBELENGGU DALAM KEPUTUSASAAN
Anderas Igo (40), kelahiran Flores, dan istrinya Alvina (37), kelahiran Kulawi, adalah satu dari sekian banyak orang yang menjadi korban di Bolapapu. Mereka berdua adalah penyandang disabilitas yang tingkat kerusakan rumahnya masuk dalam kategori rusak berat.
Sebelum menikah, mereka pernah mengikuti kegiatan pelatihan ketrampilan di Makasar pada tahun tahun 2005. Andreas belajar kursus keterampilan elektronik, sementara Alvina kursus keterampilan menjahit.
“Kegiatan pelatihan itulah yang mempertemukan kami,” kata Andreas.
Seiring dengan berjalannya waktu, di tahun 2008, mereka memutuskan untuk menikah dan tinggal di Dusun 4, Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi. Setelah lebih dari satu dasawarsa menikah, keluarga ini sekarang dikaruniai dua orang anak. Anak pertama berusia 10 tahun, sedangkan anak yang kedua berusia 3 tahun.
Pada saat dijumpai di rumah tumbuh yang telah selesai dia bangun melalui program bantuan dari konsorsium Emergency Response Capacity Building (ERCB), Andreas bercerita banyak tentang kejadian dialaminya saat terjadi gempa bumi.
Seperti biasanya, menjelang magrib ia pergi ke belakang rumahnya. Di sana terdapat sebuah bangku kayu yang sering ia jadikan sebagai tempat duduk. Hal ini sangat sering ia lakukan, hanya untuk memastikan keberadaan ayam jantannya.
Tiba-tiba saja lampu padam. Lalu diikuti dengan goyangan dan suara dentuman bagai meriam dari dalam tanah. Perasaan panik dan takut larut menjadi satu. Tak ada yang bisa diperbuat, selain hanya menenangkan diri.
Setelah sedikit tenang, Andreas baru sadar bahwa baru saja terjadi gempa bumi.
“Gempanya maha dahsyat. Baru sekali dalam hidup saya merasakan gempa sedahsyat ini,” tegas Andreas.
Hari semakin gelap. Sedikit pun cahaya terang tak nampak dilihat. Dengan jalan sambil meraba-raba, Andreas berusaha bergegas balik ke rumahnya, melewati gelapnya malam.
Setibanya di depan rumah, Andeas terkejut dan menangis. Dirinya merasa tidak percaya dengan apa dilihatnya. Atap dan dinding rumah yang menjadi tempat tinggal sekaligus tempat usahanya telah rata dengan tanah.
“Semua alat suku cadang elektronik hancur berserakan tertimpa dinding batako. Sementara mesin jahit yang sering digunakan oleh istriku juga ikut rusak,” kenangnya.
Saat itu perasaan hatinya benar-benar hancur. Seakan tak ada lagi harapan untuk hidup. Sekian lama mengumpulkan uang dari hasil jerih payah memperbaiki barang elektronik dan usaha dari sang istri menjahit, semuanya sirna dalam sekejap. Yang ada tinggal bekas puing-puing yang berserakan.
Tiba-tiba saja, terdengar suara dari arah samping memanggil namanya. Suara itu muncul dari balik pepohonan coklat yang tumbuh di halaman rumah. Ternyata itu suara anak dan istrinya yang masih gemetar dengan penuh ketakutan.
Melihat anak dan istrinya selamat dari gempa tersebut, Andreas dengan perlahan berjalan pergi merangkul istri dan kedua anaknya. Saat itu rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Yang ada tinggal meratapi nasib akibat gempa yang melanda desa mereka.
Enam bulan telah berlalu. Bantuan rumah tumbuh dari ERCB kini dapat ditinggali bersama dengan keluarga kecilnya. Andreas tidak mau lama terbelenggu di dalam keputusasaan. Kini ia mulai kembali bekerja sebagai tukang servis elektronik dengan bermodalkan satu buah solder dan dua buah obeng. Harapan selanjutnya adalah, sang istri dapat menjahit lagi jika sudah ada pengganti mesin jahitnya yang rusak. Sementara itu, Alvina melayani pembeli di kios dagangannya yang ia buka di rumah tumbuh tersebut. (dm/mdk)